June 20, 2008

Dilema Media: Mengayuh di Antara Dua Karang

Media di zaman modern setidaknya menyimpan satu paradoks dalam dirinya yang tak kunjung terselesaikan hingga hari ini. Yakni, efek positif media untuk mendorong demokratisasi di satu sisi dan efek negatifnya dalam menciptakan konsumerisme yang massif di sisi lain. Ironisnya, media tak bisa meniadakan salah satu sisi dari paradoks ini. Media selalu dalam posisi yang rentan dalam ketegangan dua kutub yang saling berlawanan ini.

Persoalan yang harus dipecahkan media modern adalah mengayuh di antara dua karang dengan ekstra hati-hati. Terlalu ke kanan - yakni terlalu memperjuangkan demokrasi dan kepentingan publik tanpa memperhitungkan pasar - maka media akan mati karena kehilangan darah sumber ekonominya. Sementara bila media terlalu ke kiri - yakni terlalu memenuhi tuntutan pasar tanpa ideal demokrasi yang diperjuangkan - maka media terjatuh menjadi agen konsumerisme. Media harus bisa menyiasati paradoks dalam dirinya secara proporsional sehingga perannya di tengah masyarakat menjadi optimal dan umurnya menjadi panjang.

Globalisasi telah menyebarkan kondisi ini ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Di tengah dua dilema yang rumit itu, media di Tanah Air justru diharapkan memihak demokrasi untuk membawa perubahan. Tuntutan itu semakin nyaring terdengar menyusul pemilu langsung 2004 yang demokratis.

Konstruksi Sosial

Karya-karya Severin dan Tankard, Jr (1992:306), O'Shaughnessy dan Stadler (2004:39), serta sarjana komunikasi lainnya menunjukkan rasa optimisme yang tinggi bahwa media memiliki kekuatan yang besar dalam menciptakan kebenaran dan realitas sosial. Pendirian para sarjana tersebut mendapatkan inspirasi dari karya klasik sosiolog Peter Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality (1966).

Berger dan Luckmann berpendapat bahwa realitas sosial diciptakan, dibangun, atau dikonstruksi secara sosial oleh masyarakat. Kebenaran atau realitas bukanlah sesuatu yang bersifat permanen dalam dirinya, namun lebih bersifat transpersonal. Sesuatu yang dianggap sebagai kebenaran merupakan hasil dari kesepakatan melalui tawar-menawar epistemologis antaraktor yang saling berinteraksi atau berkomunikasi. Kebenaran-kebenaran moral maupun sosial selalu mengalami fluktuasi dan revisi dalam sejarahnya sesuai dengan tafsir sosial dan tawar-menawar epistemologis yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Baju you can see ketat yang masih risih dikenakan pada kurun 1970-an kini menjadi mode yang sangat digandrungi kaum wanita. Tafsir terhadap baju you can see mengalami perubahan yang evolusioner hingga menjadi mode populer sekarang ini.

Tafsir terhadap demokrasi juga berubah. Di zaman Orde Baru, apa yang disebut demokrasi harus selalu demokrasi Pancasila, di luar itu tidak boleh. Demokrasi Pancasila ala Orde Baru adalah demokrasi yang tidak menerima kritik dari masyarakat - yang tentu saja bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri. Pers dalam demokrasi Pancasila adalah pers yang "bebas tapi bertanggung jawab", yang dalam praktiknya memiliki arti: pers tidak boleh berbeda pendapat dengan pemerintah. Setelah Orde Baru jatuh, tafsir demokrasi mengalami perubahan. Konstruksi sosial terhadap demokrasi lalu meniru demokrasi liberal yang terjadi di negara-negara Barat.

Realitas Demokrasi

Atas dasar argumentasi Berger dan Luckmann inilah sarjana-sarjana komunikasi percaya bahwa media merupakan alat yang sangat potensial untuk menciptakan kebenaran dan realitas sosial. Melalui agenda setting media mengarahkan apa yang seharusnya publik mesti ketahui dan pikirkan. Sebagai gatekeeper, media menentukan mana informasi yang boleh sampai ke masyarakat, mana yang tidak. Dengan demikian, media tidak hanya menjadi trend setter, tetapi sekaligus juga menjadi truth setter. Maka, bila media memiliki komitmen terhadap demokrasi, media bisa menggunakan kekuatannya untuk menciptakan realitas demokrasi.

Sosiolog besar abad ini, Anthony Giddens, menyebut "televisi memiliki peran penting dalam mewujudkan pembongkaran Tembok Berlin" (2001:67) dan meluasnya demokratisasi di Eropa Timur. Informasi yang menyerbu Eropa Timur pada akhir 1980an dan awal 1990an telah merontokkan tirai besi Komunisme di kawasan itu. Di Uni Soviet, hanya setelah kebijakan kontroversial Gorbachev, glastnost - yang membuka negeri itu dari keterkucilan informasi dunia luar - perubahan sosial mulai tampak dengan semakin menguatnya tuntutan ke arah demokrasi.

Di Tanah Air, belakangan ini ada kekhawatiran akan terjadinya pendangkalan demokrasi yang disebabkan oleh terlalu banyaknya program infotainmen di hampir semua stasiun TV. Efek infotainmen ini hampir sejajar dengan efek konsumerisme yang disebabkan oleh TV. Faktor lain yang merisaukan adalah semakin terpinggirkannya agenda publik dalam media karena telah tergusur oleh kuasa uang. Perusahaan-perusahaan besar yang bisa membeli spot iklan lebih memiliki suara dibandingkan dengan pejuang HAM dan demokrasi.

Kekhawatiran ini tidak hanya dirasakan di Indonesia. Globalisasi telah membuat seragamnya format ruang publik media di dunia yang cenderung menjadi terlalu komersial. Menjelang akhir abad ke-20, menurut Lyn Gorman dan David McLean (2003), media semakin menampakkan wajah yang kurang bersahabat terhadap publik, karena media lebih tertarik untuk memasang iklan yang menghasilkan uang dibandingkan berita atau liputan kepentingan publik yang tak bernilai komersial. Dengan nada penuh kegusaran, kedua sarjana tersebut menulis, "These developments reflected the triumph of commerce and the decline of a public service ethos in media generally..." (perkembangan ini menunjukkan kemenangan uang dan runtuhnya etos layanan publik pada media secara umum...").

Kecenderungan yang kurang menguntungkan ini semakin merisaukan berbagai kalangan di Indonesia yang concerned dengan demokrasi kita yang belum seumur jagung. Pertanyaan besarnya adalah, bisakah media mengayuh di antara dua karang: memperjuangkan kepentingan publik yang tak bernilai komersial dan sekaligus memenangkan pasar?


No comments: