August 28, 2008

Artikel Jadul

Kompas Online
Kamis, 11 September 1997

_________________________________________________________________

Radio, antara Raksasa Koran dan TV

MESKI secara teknis radio mampu menyiarkan informasi secara cepat,
tetapi popularitas radio sangat ketinggalan dibandingkan media
lainnya. Setidaknya, itulah temuan Kompas ketika melakukan survei
penggunaan media massa di Jakarta akhir tahun lalu. Dari 978 responden
yang diwawancarai, 47,3 persen mengaku biasa mendengarkan radio,
sangat jauh tertinggal dibanding mereka yang biasa menonton televisi
(78 persen) atau membaca surat kabar (96,6 persen).

Kenyataan itu tentu saja menjadi tantangan tersendiri bagi pengelola
radio di Jakarta. Radio yang hanya mengandalkan suara memang secara
teknis kalah bersaing dengan televisi yang mampu menghadirkan gambar.
Ia juga tidak seperti media cetak yang bisa disimpan sebagai
arsip/dokumen. Di Jakarta sekurangnya ada 20 penerbitan surat kabar, 5
stasiun televisi swasta plus TVRI, dan 50 radio swasta berebut
perhatian kalayaknya.

Kelebihan utama radio pada kecepatannya memberikan informasi, tidak
bisa lagi menjadi unggulan, sebab masyarakat lebih menganggap radio
sebagai media hiburan, bukan informasi. Dari 463 responden yang
mempunyai kebiasaan mendengarkan radio, sebagian besar (64 persen)
menganggap radio sebagai media hiburan.

Temuan berikut juga memperkuat gambaran betapa berita radio kurang
diminati dibandingkan berita dari televisi. Acara di radio yang paling
digemari pendengarnya adalah musik (48,4 persen), sedangkan berita
hanya ditunggu oleh 23,3 persen pendengarnya (n=463). Ketika
dibandingkan dengan televisi, hasilnya sangat bertolak belakang. Acara
di televisi yang paling digemari adalah berita (64,6 persen),
sedangkan hiburan hanya 23,3 persen (n=944).

Padahal kalau disimak dengan saksama, jam tayangan hiburan di televisi
jauh lebih banyak dibandingkan dengan berita. Sedangkan untuk radio,
wajib relay dari RRI Programa Nasional saja sehari tidak kurang
daripada 10, dari yang sekadar menginformasikan harga cabai keriting
dan tomat gundul sampai berita pertempuran di Kamboja.

Frekuensi siaran berita sebanyak itu pun sebenarnya masih kurang,
karena menurut SK Menteri Penerangan No 226/ KEP/ Menpen/ 1984, wajib
relay oleh radio swasta itu sebanyak 18 kali dalam 24 jam. Tetapi
karena radio swasta belum diizinkan siaran 24 jam, maka hanya 13 - 16
paket berita saja yang bisa di-relay.

Tentu saja ini memberatkan pengelola radio swasta karena banyak waktu
mereka yang tersita untuk meneruskan siaran RRI. Belum lagi kalau
dilihat materi berita dari RRI yang dinilai kurang sesuai dengan
sasaran pendengar radio swasta saat ini. Untuk itu pengurus persatuan
radio swasta PRSSNI pernah mengusulkan wajib relay siaran berita RRI
cukup empat kali saja.

Seandainya UU Penyiaran nanti mengizinkan lembaga penyiaran swasta
melaksanakan siaran berita, kesempatan ini merupakan peluang emas bagi
mereka yang dengan manajemen yang baik mampu membuat siaran berita
dengan lebih menarik.

Situasi sulit yang dihadapi radio swasta itu memaksa para pengelola
radio untuk jeli melihat peluang agar tetap bertahan, antara lain
dengan memanfaatkan kemacetan lalu lintas di Jakarta. Sonora dan
Kamajaya, misalnya, mencoba untuk bertahan dengan informasi lalu
lintas, terutama jalan tol. Kemacetan juga melahirkan acara-acara talk
show yang menarik kalangan profesional, seperti yang disajikan
Trijaya, Ramaco, dan Pas.

Aspek bisnis

Dari sisi aspek bisnisnya, radio mengalami pasang surut. Tahun 1974,
radio berjaya dengan meraup 32 persen kue iklan, sementara televisi
-baru ada TVRI - mendapat porsi 27 persen. Perolehan iklan di radio
itu terus menurun. Pada 1981 ketika TVRI tidak lagi menayangkan iklan,
rezeki itu mengalir ke media cetak.

Di masa-masa selanjutnya, walaupun radio tidak mampu memperoleh porsi
iklan lebih besar daripada surat kabar dan televisi, tetapi secara
absolut perolehan iklan radio meningkat terus. Setelah beberapa
stasiun radio mencoba memperbaiki kualitas suara dengan berpindah ke
jalur FM dan juga tumbuhnya beberapa stasiun radio baru di tahun
1987-1988, hasilnya mulai terasa dengan meningkatnya persentase porsi
iklan radio dibanding media massa lainnya. Di tahun 1988 radio dapat
memperoleh iklan sebesar Rp 38 milyar, dan meningkat menjadi Rp 73
milyar setahun berikutnya.

Perkembangan perolehan iklan radio dalam 9 tahun terakhir (1986-1995)
hanya 24,9 persen, tetap lebih kecil dibanding para pesaing. Maka,
pesan yang perlu disampaikan menyambut hari radio ini adalah:
pandai-pandailah melihat peluang di antara raksasa media cetak dan
televisi. (Terini Iriani staf Litbang Kompas)

No comments: